Senin, 05 Juli 2010

Wall Street Libur, Saham Asia Bergerak Lemah

Wall Street Libur, Saham Asia Bergerak Lemah

Seorang fotografer mengambil gambar di depan grafik indeks saham di Korsel (AP Photo/Ahn Young-joon)

VIVAnews – Indeks harga saham di sejumlah bursa utama Asia memunculkan hasil yang variatif. Ada yang sedikit naik, namun juga ada yang masih turun di tengah laporan yang mengecewakan dari Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu mengenai sektor tenaga kerja. Investor pun mencemaskan masalah kredit perbankan dan melambatnya pertumbuhan ekonomi di China.

Pada penutupan transaksi Senin, 5 Juli 2010, indeks Nikkei 225 di Jepang naik 61,94 poin atau 0,7 persen menjadi 9.265,40 dan indeks Kospi di Korea Selatan menguat 0,2 persen menjadi 1.675,70. Indeks harga saham di bursa Taiwan dan Selandia Baru juga naik.

Sebaliknya, indeks Hang Seng di Hong Kong turun 0,2 persen menjadi 19.859,94 dan indeks komposit Shanghai di China melemah 1,6 persen menjadi 2.344,23. Penurunan juga terjadi di bursa Australia (0,2 persen).

Menurut pengamat, naik turunnya indeks di sejumlah bursa Asia hari ini relatif kecil. Pasalnya, para trader cenderung menunggu bursa Wall Street bergerak kembali setelah hari ini libur dalam rangka perayaan ulang tahun Kemerdekaan AS. Mereka pun menunggu perkembangan di China.

“Para pelaku pasar tengah menunggu adanya terobosan, seperti di China dan di AS, untuk menunjukkan bahwa ekonomi masih dalam jalur pemulihan,” kata Jackson Wong, pengamat dari Tanrich Securities di Hong Kong. “Mereka kini agak segan untuk melakukan aksi beli,” lanjut Wong.

Kini muncul kekhawatiran dari pasar bahwa tidak sedikit perusahaan di China yang bakal kesulitan kembali membayar utang mereka ke bank lantaran melemahnya permintaan ekspor sementara mereka sudah terlanjur meminjam banyak untuk kepentingan produksi.

Ini terkait dengan kebijakan perbankan di China tahun lalu, yang membuka aliran kredit dalam jumlah besar untuk pendukung program stimulus ekonomi dari pemerintah. Tidak hanya pengusaha, banyak lembaga keuangan pemerintah turut mengutang dari bank untuk pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek lain.

Situasi itu sempat membuat kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi di China bakal terlalu pesat (overheat) sehingga berisiko menaikkan inflasi sekaligus menggelembungkan harga-harga properti. Maka, sejak awal tahun lalu pemerintah China mulai mengurangi program insentif sehingga ekonomi tidak akan berjalan terlalu pesat, inflasi bisa dicegah, serta mengatasi spekulasi harga properti.

Namun, kini muncul peringatan dari Bank Dunia dan pemerintah China bahwa pihak kreditur bisa menderita kerugian besar bila pihak-pihak yang mengutang terancam kesulitan membayar pinjaman karena lemahnya produksi dan permintaan ekspor.

Sementara itu, dalam perdagangan valuta, kurs dolar atas yen naik dari 87,70 yen menjadi 87,90 yen. Nilai tukar dolar atas euro pun menguat dari US$1,2556 menjadi US$1,2537. (Associated Press)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post