Senin, 05 Juli 2010

Tren Baru di Asia: Menikahi Istri ‘Impor’

Tren Baru di Asia: Menikahi Istri ‘Impor’

Ilustrasi Pernikahan (fiestaspartygoods.com)

VIVAnews - Pernikahan lintas negara kini jadi tren di Asia. Pria-pria dari negara kaya di benua itu — misalnya Jepang, Korea, dan Singapura — lebih suka mencari pasangan hidup dari negeri yang lebih miskin seperti Vietnam dan Filipina.

Pernikahan pria Jepang dengan perempuan asing pada 2006 naik 73 persen dari tahun 1995 — terutama dari China dan Filipina.

Mengapa demikian?
“Saat ini sulit mencari pasangan, di Jepang para perempuan muda sudah mandiri secara ekonomi dan lebih memilih tetap melajang,” kata pengelola biro jodoh di Osaka, Jepang, Toshio Esaka, seperti dimuat laman Arab Times, Senin 5 Juli 2010.

Sementara di Korea Selatan, lebih dari 35 persen nelayan dan petani dalam waktu setahun sampai Mei 2009 menikahi istri impor, terutama dari China dan Vietnam.

Hal yang sama juga terjadi di Singapura — negeri terkaya di Asia Tenggara, Hongkong, dan Taiwan. Pernikahan di sana seringkali melibatkan ‘mak comblang’.

Pria-pria dengan penghasilan rendah di sana banyak yang khawatir ditolak cintanya oleh perempuan-perempuan lokal yang memiliki pendidikan tinggi.

Sebuah situs perjodohan di Singapura, bahkan menawarkan tur berbiaya rendah ke Vietnam. Di sana para lelaki bisa mencari jodoh yang dilengkapi hasil pemeriksaan kesehatan bahkan ‘sertifikat keperawanan’.

Di sisi lain, perempuan-perempuan di negara miskin di Asia menganggap pria dari negeri kaya, yang berpenghasilan rendah sekalipun, memberi harapan adanya kehidupan yang lebih layak.

“Gadis-gadis Kamboja, misalnya, karena kemiskinan keluarga dan keinginan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, mereka memutuskan menikah dengan pria asing,” kata direktur lembaga antiperdagangan manusia Kamboja, Ya Navuth.

Namun, tak semua berakhir bahagia. Memang ada yang bernasib buruk, ada juga yang dikhianati, atau bahkan diperlakukan sebagai obyek yang bisa dijual.

Kasus kekerasan rumah tangga banyak dialami para istri dari Asia. Mereka tidak bisa mendapatkan bantuan karena tidak memiliki keluarga di negeri asing. Kemampuan Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin yang minim membuat mereka tak bisa menyampaikan laporan ke polisi atau orang lain.

Kasus-kasus kekerasan itu akhirnya membuat berbagai negara membuat batasan dan aturan pernikahan campur warga negaranya.

Indonesia, salah satunya, sedang mempertimbangkan aturan pemberlakuan uang jaminan senilai US$55 ribu yang harus disediakan orang asing yang menikahi perempuan Indonesia.

Jika pasangan bercerai, istri akan berhak untuk mengambil uang itu. Uang tersebut akan jadi ‘milik bersama’ setelah pasangan itu bersama setelah 10 tahun.

Kamboja memberlakukan penangguhan pernikahan antara warganya dengan pria asal Korea Selatan selama beberapa minggu, sebelum persyaratan baru antiperdagangan manusia diberlakukan.

Regulasi juga ditetapkan oleh negara ‘pengimpor’. Taiwan, misalnya, melarang iklan biro jodoh tahun lalu pasca merebaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga — di mana pria Taiwan menyiksa istrinya yang asal Vietnam.

Sementara, kasus menarik dijumpai di China. Awalnya negara ini adalah ‘pengekspor’ mempelai perempuan. Posisi ini berubah akibat kebijakan satu keluarga satu anak.

Pada 2020, diperkirakan pria China akan kesulitan mencari istri di negaranya sendiri. (hs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post